Kisah Sri Sultan HB IX Di Balik SO 1 Maret
Serangan Umum 1 Maret – Di pertengahan tahun 1945 orang-orang pergerakan di Jakarta sudah berhasil memasuki masa puncak kerjanya yaitu: Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dimana Bung Karno dan Bung Hatta menyatakan kemerdekaannya. Namun tuntutan kemerdekaan politik itu oleh pihak Republikein secara de jure hanya daerah kekuasaan Belanda. Di luar kekuasaan Belanda kaum Republikein tidak berhak, sementara wilayah kekuasaan Solo-Yogya disebut Voorstenlanden adalah daerah yang dipertuan oleh Sunan Solo, Mangkunegoro, Sultan Yogya dan Paku Alam dan bukan kekuasaan Hindia Belanda. Di puncak sejarah inilah nasib kedua wilayah menjadi sangat berbeda juga nasib kehidupan kraton- kratonnya kelak. Sunan Solo dan Mangkunegoro bimbang, bahkan separuh menolak bergabung dengan Republik Indonesia. Mereka takut bila bergabung dengan Republik kerajaan-kerajaan akan dilikuidir dan pemerintahan yang dikabarkan Sosialis itu menolak adanya bentuk feodalisme. Sementara Sultan Yogya dan Paku Alam dengan keyakinan bulat mendukung Republik Indonesia dan bergabung dengan Republik Indonesia. Penggabungan Sultan Yogya ini merupakan simbol bahwa Raja Jawa (Jawa adalah simbol dari pusatnya Nusantara) berdiri dibelakang Sukarno-Hatta ini berarti dari sisi budaya kemerdekaan RI mendapatkan legitimasinya. Sunan Solo dan Mangkunegoro masih menolak dan ini berakibat fatal karena rakyat Solo keburu marah pada dua raja ini dan meledaklah Gerakan Swapraja dimana mereka menuntut Raja Solo dan Mangkunegaran menyerahkan hak istimewanya ke Republik Indonesia sejak saat itulah Kasunanan Solo kehilangan wibawanya.
Sultan Yogya meminta agar Sukarno-Hatta dan seluruh pemimpin Republik pindah ke Yogyakarta, dengan pertimbangan Belanda lewat NICA sudah membonceng Sekutu dan akan menjadikan Jakarta sebagai pusat pertempuran. Dan memang betul perkiraan Sultan Garis Jakarta-Bandung merupakan pusat kekuatan militer NICA apalagi di Jakarta ada Batalyon X yang terkenal kejam. Di Yogya para penggede RI yang sesungguhnya miskin harta itu dibantu keuangannya oleh Sultan. Ibu Fatmawati dan Ibu Rahmi Hatta sering mendapat santunan dari Sultan Yogya, bahkan ada cerita bahwa Sultan itu kalau ngambil untuk bantuan kepada perjuangan Republik Indonesia tidak pernah ada hitungannya, ia raup semua (dengan menggunakan kedua tangan) keping-keping emas milik kas kesultanan tanpa perlu menghitung kembali dan setelah kondisi RI mapan Sultan sama sekali tidak menyinggung- nyinggung hal ini, dia selalu diam.
18 Desember 1948 Belanda melakukan Agresi Militer Kedua dengan sasaran Ibu Kota Republik Indonesia yang masih muda, saat itu di Jogja. Dengan menerjunkan pasukannya dari udara dan sasaran pertama adalah mematahkan Lapangan Terbang Maguwoharjo. Mudah bagi pasukan belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor mematahkan pertahanan Lapangan Terbang Maguwoharjo karena hanya ada perlawanan berarti dari Taruna AURI (Sekarang AAU). Saat itu masyarakat Jogja mengira bahwa pesawat-pesawat yang meraung-raung di udara adalah milik AURI yang sedang melakukan latihan perang. Memang sebelumnya beredak kabar dari AH Nasution dan Bambang Sugeng Komandan Divisi Djawa Tengah bahwa TNI akan melakukan latihan perang untuk mengantisipasi serangan Belanda. Tetapi TNI kalah cepat dengan Belanda yang ternyata menyerang lebih dulu. Mudah bagi pasukan Belanda untuk terus merangsek masuk ke jantung kota dan menuju Gedung Agung. Karena tidak ada perlawanan berarti dari pasukan Wehrkreiss III di bawah pimpinan Soeharto yang bertanggung jawab atas Kota Jogja dan Sekitarnya.
Sidang darurat berlangsung cepat. Diputuskan Pemerintah RI membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi , kebetulan di sana ada Mentri Kemakmuran Sjarifudin Prawiranegara dan beberapa pemimpin Republik lapis tengah sedang bertugas di Bukittinggi termasuk beberapa perwira yang ada di Sumatera. Setelah selesai Bung Karno keluar ruangan dan mendengar suara bom terus berjatuhan, sementara Sri Sultan HB IX berjalan di belakangnya.
Bung Karno menoleh kepada Sultan. “Bung Sultan bagaimana dengan Bung, apa Bung yakin aman disini?”
Dengan tersenyum Sri Sultan berkata, “Bung Karno tidak usah mengkhawatirken saya, Belanda tidak akan berani masuk Keraton, nanti biar para perwira-perwira TNI bersembunyi di dalam Keraton menyamar jadi abdi dalem”
Bung Karno: kalau begitu saya akan tunggu itu Van Langen tangkap saya…sementara Bung Sultan tetap di Yogya.
Sri Sultan: Ya saya kira begitu” . Sri Sultan tersenyum.
Dengan tersenyum Sri Sultan berkata, “Bung Karno tidak usah mengkhawatirken saya, Belanda tidak akan berani masuk Keraton, nanti biar para perwira-perwira TNI bersembunyi di dalam Keraton menyamar jadi abdi dalem”
Bung Karno: kalau begitu saya akan tunggu itu Van Langen tangkap saya…sementara Bung Sultan tetap di Yogya.
Sri Sultan: Ya saya kira begitu” . Sri Sultan tersenyum.
Sultan tahu Van Langen tidak akan berani menangkap dirinya, karena Sri Ratu Belanda sudah berpesan pada tentara Belanda jangan mengutak-atik kawannya Sri Sultan HB IX.
Menjelang sore hari tanggal 19 Desember 1948 Istana Gedung Agung terkepung Belanda. Bung Karno meminta agar dikibarkan bendera putih tanda “menyerah” . Sri Sultan HB IX berada di Siti Hinggil dia tidak mau terlihat bersama dengan penggede Republik agar jangan ditangkap dan secara tersirat berpesan pada Belanda urusan Keraton dengan Republik sama sekali dia tidak tahu menahu. Ini memang strategi Sultan agar dia tidak bentrok dengan Belanda di awal penyerbuan. Sri Sultan paham pesan Bung Karno untuk tetap di Yogya, karena sesungguhnya kunci kemenangan itu diletakkan pada Sri Sultan bukan pemerintahan Darurat PDRI di Bukittinggi. Biarpun pemimpin Republik semua pergi, tapi masih ada pemimpin Republik yang punya kekuasaan di Yogyakarta, yaitu: Sri Sultan HB IX, dimana dimata Belanda sikap Sultan masih bisa dirubah dengan bujuk rayu dan Sultan hanyalah Republikein terselubung, hal ini tidak disadari Belanda bahwa sejak bulan September 1945 Yogyakarta sudah menyatakan bergabung dengan RI ini berarti kedudukan Sri Sultan HB IX dibawah Presiden RI bukan lagi netral seperti perkiraan Belanda.
Setelah para pengede Republik ditangkan dan diasingkan maka “Nasib” Ibu Kota berada di tangan Sri Sultan. Di dunia Internasional Belanda mengabarkan bahwa Republik Indonesia tidak ada orang-orang yang melakukan perlawanan dianggap Belanda hanyalah Ekstrimis-ekstrimis pengacau keamanan. Tentu saja hal itu akan melemahkan posisi Indonesia pada perundingan. Disamping itu juga situasi keamanan kota sudah tidak stabil banyak perampokan bersenjata yang tidak bisa ditangani oleh pasukan Belanda. Disinilah rencana awal serangan umum sesungguhnya.
Sri Sultan mendengarkan perdebatan-perdebat an PBB ini baik-baik dari siaran BBC, ia mengambil kesimpulan bahwa harus diadakan serangan militer besar-besaran yang dapat membuktikan anggapan Belanda itu salah. Ia duduk terdiam dan berpikir apa bisa militer melakukan serangan terkonsolidasi. Sri Sultan HB IX meminta pendapat kakaknya Pangeran Prabuningrat apakah bisa militer dikonsolidasikan untuk melakukan serangan yang sedang ia pikirkan. Pangeran Prabuningrat mengusulkan agar Sultan memanggil salah seorang perwira TNI yang masih ada di sekitar Yogya. “Siapa, Latief Hendraningrat sedang di luar kota” “Itu Komandan Wehrkreiss III, yang orangnya pendiam masih di sekitar Yogyakarta?” “Yang mana?” tanya balik Prabuningrat. “Itu lho yang berhasil rebut tangsi senjata Jepang di Kotabaru” “Oh, Overste Suharto” “Ya, Suharto…suruh orang Keraton hubungi dia untuk datang kesini, menyamar jadi Abdi Dalem Keraton saja” “Baiklah” kata Prabuningrat.
Suharto datang diam-diam ke Keraton Yogya dengan menyamar menjadi Abdi Dalem (kisah Suharto menyamar menjadi Abdi Dalem ini sempat di film-kan oleh Usmar Ismail di tahun 1950 dan masih versi Orisinil jauh dari kesan menjilat). Suharto dibawa Marsoedi sebagai perwira penghubung antara Suharto dengan Sri Sultan ke ruang khusus Sri Sultan untuk membicarakan kemungkinan serangan besar-besaran di Yogyakarta. Kejadian itu berlangsung tanggal 14 Februari 1949.
“Mas Harto duduklah” Jawab Sultan dengan bahasa Jawa halus. “Baik Kanjeng Sinuwun” Jawab Letkol Suharto dengan menggunakan bahasa Jawa Tinggi yang biasa dibahasakan seorang hamba pada Paduka Rajanya. “Mas Harto akhir-akhir ini keamanan kota Yogya tidak stabil bagaimana kamu bisa membereskannya supaya tidak ada lagi penjarahan-penjarah an di toko-toko dan perampokan-perampok an yang kabarnya juga menggunakan senjata, Belanda sendiri kewalahan terhadap aksi liar para perampok itu” “Bisa Kanjeng Sinuwun, saya usahaken agar perampokan itu tidak ada lagi..” Sri Sultan melihat ke arah radio dan kemudian matanya menerawang dalam-dalam. Ia tahu sedang diamat-amati intel Belanda namun penilaian Belanda sama sekali salah, ia diperkirakan akan memperjuangkan Yogya sebagai daerah otonom dibawah Belanda atau diam- diam ingin menjadi Presiden Republik Indonesia. Padahal apa yang dilakukan Sultan adalah bentuk pengabdian Raja Jawa terhadap kehendak sejarah. Dan Belanda kurang paham terhadap bentuk pengabdian ini. Sri Sultan betul-betul ingin mengabdi pada Republik Indonesia bukan mengejar ambisinya. Tangan kanan Sri Sultan memegang dagu-nya yang agak lancip itu lalu dia berkata pelan pada Letkol Suharto.
“Mas Harto apa bisa dilakukan serangan besar-besaran ke Yogyakarta?” “Maksud Sinuwun?” Suharto balik bertanya. “Serangan pendadakan agar Belanda tahu Republik masih ada” “Hmmm…saya usahaken” “Berapa pasukan yang kamu punya?” “Kalau dihitung-hitung yang bisa saya kerahkan dari SubWehrkreis saya sekitar dua ribu orang” “Hmmm…dua ribu cukup” “Memang Sinuwun mau merencanakan apa?” “Saya menginginkan agar TNI bisa masuk ke dalam kota dan merebut semua tempat yang dikuasai Belanda terutama gudang senjata yang ada di Pabrik Waston itu, juga beberapa titik penting seperti Stasiun Kereta Api, Jalan Malioboro dan Benteng Vredenburg” Suharto terdiam sejenak dia berpikir dalam-dalam. Suharto adalah ahli strategi dia tidak akan mengambil keputusan bila keputusan itu tidak akan ia menangkan. Ia bukan tipe pengambil spekulasi yang untung- untungan ia harus paham situasi. Namun yang dihadapinya adalah Sri Sultan, Rajanya. Ia juga berpikir bahwa inti kekuatan pasukan Belanda adalah KNIL pribumi kebanyakan dari Ambon, yang juga agak tak yakin dengan Belanda, bagaimanapun orang-orang pribumi itu dalam hatinya memihak Republik. Yang ditakutkan Suharto justru pasukan Marinir Belanda yang sudah dididik di Virginia Amerika. “Berapa jam yang dibutuhkan pasukan bantuan Belanda dari luar Yogya terutama yang di Semarang itu bisa tiba ke Yogya?” “empat jam mungkin mereka akan sampai ke Yogya dan langsung membantu pertempuran” “Kamu bisa kuasai Yogya selama enam Jam, Mas Harto?” “Bisa Sinuwun” “Kamu sanggup?” “Sanggup sinuwun” “Sekarang laksanakan” Sri Sultan adalah Menteri Pertahanan pada kabinet Hatta dia mengerti problem-problem kekuatan angkatan perang kita. Dan dengan strategi perebutan kota Yogyakarta diharapkan LN Palar wakil Indonesia di luar negeri punya dukungan fakta bahwa Indonesia masih ada.
Suharto mengkonsolidasi pasukannya. Harto merasa senang karena pasukan-pasukannya masih utuh. Apalagi ada pasukan Pesindo eks pelarian peristiwa Madiun dibawah pimpinan Kapten Latief yang terkenal berani (Kapten Latief ini kelak tersangkut perkara G 30 S saat peristiwa terjadi dia berpangkat Kolonel dan menjabat Komandan Brigade Infanteri Kodam V Jaya). Disamping itu ada pasukan dari Pramoedji yang ada di Godean, Marsoedi dan Amir Moertono. Pemuda- pemuda Pakuningratan no.60 juga siap membantu mereka ini tergabung dalam Pesindo dan dididik oleh jago Sosialis Djohan Sjahroezah, Letkol Suharto jaman awal kemerdekaan sering juga ke Pathook disitu juga ada Sjam Kamaruzaman, seorang polisi yang juga kemudian menjadi intel dan banyak tahu perkembangan politik (pada peristiwa G 30 S, Sjam mengambil peranan penting dan dianggap missing link dari rangkaian kejadian di Lubang Buaya pada pagi dini hari 1 Oktober 1965).
Disamping menerima Suharto, Sri Sultan terus mengatur gerakan bawah tanah, termasuk membongkar penutup-penutup besi gorong-gorong kota yang sudah di las Belanda kobang-lobang gorong kota digunakan untuk jalur penyusupan dadakan pada saat perang besar yang sudah direncanakan. Sri Sultan juga mengatur pengiriman senjata kepada pasukan-pasukan Republik, beberapa senjata selundupan berhasil masuk ke dalam kota. Sesungguhnya sejak pengungsian Jenderal Sudirman ke pedalaman Jawa Tengah, masih banyak tentara republik yang berkeliaran di dalam kota, mereka menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Dan perintah penyerangan itu berasal dari Sri Sultan. Disinilah makna ucapan Bung Karno `Bung Sultan tetap tinggal di Yogya’ :
1. Sultan adalah Pemimpin Republik Indonesia, anggota Kabinet Hatta sebagai Menteri Pertahanan. Ini artinya Sri Sultan HB IX adalah wakil sesungguhnya Republik di ibukota Yogyakarta. Dan berarti pemerintahan Negara RI di Ibukota Yogyakarta masih ada.
2. Sebagai bentuk pengalihan perhatian agar perhatian Belanda terkecoh bahwa kekuatan RI sesungguhnya ada di Keraton Yogyakarta, maka dibentuklah Pemerintahan Darurat RI yang juga merupakan pemerintahan sah. Namun efektivitas PDRI tidak berjalan baik karena berada di luar Jawa disamping beberapa pasukan PDRI masih sibuk bertempur melawan kekuatan Mollinger.
3. Bung Karno tahu bahwa Sri Sultan HB IX jagonya gerakan bawah tanah dan dia punya senjata pamungkas yaitu : Pertemanannya dengan Sri Ratu Juliana, dimana Bung Karno sendiripun tidak bisa mendekat pada Sri Ratu karena cap kolaborator di Jaman Jepang.
4. Dengan mempertahankan Sri Sultan di dalam kota ini berarti komando pemerintah masih di tangan Sultan. Sudirman yang orang Jawa pasti akan memandang Sri Sultan dan tidak akan melakukan serangan yang kurang terpadu. Semua serangan di koordinasikan pada satu titik yaitu : Merebut kota Yogyakarta.
Saat Kuku Tajam Pejuang Kemerdekaan Siap Mencengkram Penjajah Belanda
Terlepas dari `perang sejarah’ siapa penggagas serangan umum Yogyakarta, serangan ini memiliki dimensi tempur yang dahsyat untuk perang dalam kota. Baik Belanda maupun pihak Indonesia belum sepenuhnya berpengalaman dalam perang head to head ini. Sebelum perang kota 1 Maret 1949, sekelompok pasukan dibawah pimpinan seorang Sersan (dalam film Janur Kuning diperankan dengan baik oleh Amak Baldjun) menyerang ke dalam kota. Sersan itu lupa bahwa tahun 1949 adalah tahun kabisat jadi bulan februari habis sampai tanggal 29 bukan tanggal 28. Penyerbuan ini membuat tiga orang tewas di pihak TNI namun Belanda belum sadar akan ada serangan besar-besaran pada pagi hari 1 Maret 1949.
Terlepas dari `perang sejarah’ siapa penggagas serangan umum Yogyakarta, serangan ini memiliki dimensi tempur yang dahsyat untuk perang dalam kota. Baik Belanda maupun pihak Indonesia belum sepenuhnya berpengalaman dalam perang head to head ini. Sebelum perang kota 1 Maret 1949, sekelompok pasukan dibawah pimpinan seorang Sersan (dalam film Janur Kuning diperankan dengan baik oleh Amak Baldjun) menyerang ke dalam kota. Sersan itu lupa bahwa tahun 1949 adalah tahun kabisat jadi bulan februari habis sampai tanggal 29 bukan tanggal 28. Penyerbuan ini membuat tiga orang tewas di pihak TNI namun Belanda belum sadar akan ada serangan besar-besaran pada pagi hari 1 Maret 1949.
Sri Sultan sendiri sejak dua minggu sebelum hari H mulai membuka pintu Keraton, banyak tentara TNI yang menyusup ke dalam kota berlindung di balik tembok-tembok keraton yang tebal itu dan menyiapkan senjatanya. Kompleks keraton diam-diam dijadikan pusat serangan dimana perwira-perwira banyak berlindung ke dalam keraton, sementara di sekitar Malioboro dan pusat kota lainnya mulai berdatangan tentara-tentara yang sudah menyamar. Disekitar Lempuyangan, Kadipiro(akhirnya tempat tinggal saya masuk sejarah ), Kotabaru dan Kali Code banyak penyusup sudah mempersiapkan diri. Penyusupan sendiri sudah berlangsung selama dua minggu sebelum hari H. Suharto memutuskan untuk membuka markasnya di sektor barat Yogya, di daerah Godean disitu ada Mayor KRIS HN Ventje Sumual yang memegang sektor barat kota. Di sektor utara dipegang Mayor Kusno sementara di timur dipegang oleh Batalyon Sujono. Amir Murtono dan Marsudi ditugaskan mengkonsolidasi pasukan yang bercerai berai di dalam kota.
Tanda serangan dimulai pada saat sirene jam malam mulai berbunyi. Titik-titik kekuatan pasukan Brigade T (Brigade T adalah pasukan pimpinan Van Langen yang menguasai garis pertempuran Yogyakarta- Magelang-Temanggung ). Tembakan pertama dimulai di sekitar stasiun Tugu. Di sana Pos-Pos Belanda banyak bertebaran dan ada konsentrasi kekuatan besar di sekitar Stasiun Tugu. Belanda yang dikejutkan serangan dadakan ini membalas dengan tembakan asal-asalan. Beberapa pasukan keluar dengan menggunakan panser dan berjalan masuk ke arah Tugu Malioboro namun belum sampai tugu pasukan belanda yang hanya berkekuatan setengah kompi itu diserang sengit kekuatan dari arah toko-toko dan perumahan penduduk. Perwira Belanda yang bergerak dengan jeepnya ke arah utara kota terperangah karena dimana-mana sudah berkibar bendera merah putih sementara beberapa pasukan Belanda di pos-pos kecil terjebak pertempuran sengit. Jalan-jalan dipasangi kayu, kursi, tempat tidur dan pohon-pohon yang ditebangi untuk menghambat lajunya pasukan Belanda. Di atas pohon, di dalam parit, di halaman-halaman rumah penduduk dan di balik sumur tiba-tiba banyak tentara TNI bermunculan, pertempuran sampai masuk ke lorong-lorong sempit di dalam kota. Kejar-kejaran terjadi bahkan sampai ada perkelahian fisik antara tentara Belanda dengan prajurit TNI yang masing-masing menggunakan sangkur.
Menjelang jam 7.00 pagi pertempuran sengit terjadi di sekitar Pabrik Waston tempat amunisi Belanda banyak tersimpan tidak sampai satu jam pasukan Belanda bisa dipukul mundur. Benteng Vredenburg pun berhasil direbut tentara RI. Sri Sultan duduk hatinya tegang bersama dengan kakaknya Pangeran Prabuningrat di Siti Hinggil ia berkali-kali disambangi perwira-perwira TNI melaporkan jalannya pertempuran. Belanda mengarahkan serangannya ke Keraton karena banyak laporan yang datang ke meja perwira Belanda bahwa pasukan TNI banyak bersembunyi disekitar Buiten Keraton. Di sekitar alun-alun utara Keraton Yogya banyak konsentrasi pasukan TNI.
Monumen Serangan Umum 1 Maret
Serangan ini juga dikenal dengan nama Yogya Kembali yang sekarang juga dijadikan nama Monumen Perjuangan di Daerah Istimewa Yogyakarta selain itu juga dikenal dengan nama Enam Jam DI Jogja karena para pejuang itu berhasil menduduki Jogja selama 6 Jam sebelum bala bantuan tentara Belanda dari Semarang datang. Namun yang terpenting bukan berapa lama pejuang mampu menduduki Kota Jogja. Serangan itu mampu membuka mata dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih ada. Setelah serangan itu PBB memerintahkan Belanda untuk menarik pasukannya dari Republik Indonesia di samping Amerika Serikat yang terus mengancam Belanda dengan menghentikan bantuan jika Belanda tidak meninggalkan RI.
Sumber :
Dicuplik dari http://www.pasulukanlokagandasasmita.com/index.php/en/ensiklopedia/sejarah/344-ngajogjakarta-dalam-kenangan-sri-sultan-hb-ix-bung-karno-sudirman-soeharto
Dicuplik dari http://www.pasulukanlokagandasasmita.com/index.php/en/ensiklopedia/sejarah/344-ngajogjakarta-dalam-kenangan-sri-sultan-hb-ix-bung-karno-sudirman-soeharto
0 komentar:
Posting Komentar